Asyiknya Jadi Relawan Kemanusiaan, Bagian Satu


Jadi relawan kemanusiaan memang bukan cita-cita. Apalagi hanya bermodalkan semangat, sedikit pengetahuan dan relasi personal. Tanpa identitas pasti, selain KTP dan keyakinan diri yang datangnya dari niat tulus membantu sesama. Semua proses mengalir seperti air sungai yang mengarah ke muara. Dan akhirnya berbaur di lautan.  Lalu di mana sisi menariknya jadi relawan kemanusiaan?

Ketika terjadi kerusuhan sosial di tahun 1998, Kebumen Kota mengalami situasi serupa. Saat itu, 7 September, menjelang tengah hari. Saya dan beberapa teman sedang belajar cara memelihara komputer di Markas PMI yang berada di kompleks rumah dinas Bupati. Seperti biasa, kami selalu menghidupkan pesawat komunikasi. Senkom Pemda Kebumen meminta bantuan ambulans dan personil nya ke Terminal Non Bus yang jaraknya cukup dekat. Kami yang di Markas terus memantau situasi yang dikabarkan oleh Senkom maupun Polri selaku mitra kerja PMI.

Kurang dari setengah jam, salah satu personil ambulans pulang ke markas membawa informasi bahwa telah terjadi aksi massa yang kian membesar pasca terjadinya kebakaran di toko oli depan Polsek. Katanya, massa telah merusak dan membakar beberapa bangunan pertokoan milik orang-orang Cina di sekitar pasar dan terus bergerak ke sentra pertokoan serta hunian para warga keturunan Tionghoa di Jalan Pahlawan dan Kampung Keposan. Ia berpesan agar saya tidak ke sana ( lokasi kerusuhan)..

"lakukan apapun yang kamu yakini baik dan benar, berpikir cermat saat keputusan harus diambil"  

Pesan almarhumah Ibu senantiasa jadi pegangan kuat dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini. Dan itulah yang lakukan saat memutuskan untuk berganti baju. Dari relawan PMI menjadi salah satu bagian masyarakat peduli lingkungan. Bersama tokoh masyarakat setempat, kami membuat barikade di beberapa akses ke dalam kompleks Pecinan Kebumen kota.**

Menjadi relawan kemanusiaan memang bukan cita-cita awal seorang mahasiswa jurusan akuntansi. Gambaran profesi akuntan dengan beragam pernak perniknya lebih dominan. Apalagi setelah mendapatkan gelar sarjana muda. Bayangan kemewahan hidup hampir selalu hadir dalam benak.

Perjalanan hidup manusia memang misteri Illahiyah. Dan itu yang menjadi kenyataan dan proses pembelajaran menapaki dunia nyata. Gambaran kemewahan hidup pernah terjadi sesaat ketika berjuang sebagai manusia dewasa. Pengalaman manis yang tak perlu disesali.

Cerita singkatnya begini. Menjelang peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia ke 41, saya berkesempatan untuk mengikuti Musyawarah Nasional Ex Tentara Pelajar Kedu Selatan di Purworejo . Di tengah-tengah perhelatan akbar itu, generasi penerusnya ikut berkumpul. Setelah berkorespondensi lewat surat beberapa bulan dan bertukar pandangan, saya bertemu mas Priyotomo putra Pakdhe Imam Pratignjo yang merupakan tokoh sentral dalam perhelatan akbar itu.

Di tengah suasana penuh romantisme masa muda para peserta utamanya,  saya temukan dua sosok yang selama ini sangat ingin dijumpai. Keduanya adalah rektor perguruan tinggi ternama. Pertama, Prof. Dr. Kusnadi Hardjasumantri (UGM) yang tegas dan berkesan kaku. Beliau pernah menjadi kombatan. Anggota pasukan tempur Tentara Pelajar yang bergabung di kesatuan TPS (Tentara Pelajar Siliwangi) yang dipimpin oleh Solichin GP. Yang satu lagi adalah sosok pendiam, halus tutur bahasa dan perilakunya. Sesuai dengan profesi beliau sebagai profesor ilmu filsafat. Pakdhe Kunto, biasa kami panggil begitu, adalah staf bidang kepalang-merahan Markas Tentara Pelajar di Purworejo. Prof. Dr. Kunto Wibisono cukup sabar menanggapi berbagai pertanyaan “ usil” kami, para generasi penerusnya.



Dari beliau, saya mendapat tambahan informasi tentang Ibu Atiatoen  . Meskipun tak pernah bertatap muka langsung, beliau pernah diberi informasi oleh Kepala Markas Darurat Tentara Pelajar di Kebumen, Mas Moedojo (baca Mudoyo) tentang ibu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oyek, Nasi Singkong Naik Kelas

Energi Mereka, Daya Hidupku

Agenda Konferensi Ekonomi Kreatif Bali ke SU PBB 2019-Bagian Terakhir